Anda tentu sering mendengar profesi psikiater dan psikolog klinis, entah itu di berita televisi, radio, atau ketika kita membaca harian cetak (koran, majalah, dsb). Tidak jarang pula, kedua profesi tersebut kerap dikaitkan dengan berbagai peristiwa, mulai dari masalah anak, perilaku kriminal hingga berkaitan dengan pandemi seperti sekarang ini. Tidak jarang pula, kita menganggap bahwa kedua profesi tersebut sama. Padahal, psikiater dan psikolog klinis adalah dua prifesi yang berbeda dan tentu saja kewenangan yang melekat pun tidak sama.
Siapakah Psikiater dan Psikolog Itu ?
Secara sederhana, psikiater adalah dokter, sedangkan psikolog klinis bukan dokter. Psikiater memiliki gelar dr. SpKJ (dokter spesialis kedokteran jiwa), yaitu mereka yang setelah mencapai gelar dokter melanjutkan studi spesialis, yakni kedokteran jiwa atau yang kerap disebut psikaitri (ilmu yang berfokus pada kesehatan jiwa). Sementara psikolog klinis adalah sarjana psikologi yang kemudian mengambil kuliah profesi (Magister Psikologi Klinis) dan mendapat gelar psikolog klinis. Dengan kata lain, psikiater dapat memberikan resep obat, sementara psikolog klinis tidak demikian. Ilmu psikologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusiadengan tujuan untuk memahami sifat-sifat manusia.
Lalu, pertanyaan selanjutnya, perilaku-perilaku macam apa yang menjadi perhatian dari psikiter dan psikolog klinis? Manusia sebagai makhluk yang berakal tentu tidak lepas dari tiga hal, yaitu pikiran, perasaan, dan juga tingkah laku. Seorang psikolog klinis akan berupaya untuk memahami bagaimana manusia berpikir, bagaimana perasaannya dan bagaimana pula mereka menunjukkan perilaku ketika menghadapi situasi tertentu. Sebagai contoh, ada seseorang yang mengeluhkan kesulitan dalam mengelola marah. Melalui proses konseling, psikolog klinis akan memberikan semacam edukasi mengenai emosi, pengaruhnya terhadap perilaku manusia, termasuk memfasilitasi klien untuk belajar mengenali situasi pemicu dan mengelola marah secara lebih adaptif. Jika kemudian ditemukan indikasi perilaku yang cenderung membahayakan diri maupun lingkungan, psikolog klinis akan merujuk ke psikiater agar klien mendapatkan penanganan secara medis.
Hal-hal Keliru Tentang Psikiater dan Psikolog
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) merupakan tempat dimana psikiater dan psikolog klinis biasa bekerja. Kesadaran dan kemauan untuk mengakses layanan di RSJ nampaknya masih menjadi sebuah kendala bagi sebagian masyarakat dikarenakan adanya stigma mengenai gangguan jiwa, mulai dari adanya anggapan tentang aib, gila, dan sebagainya. Padahal, sejatinya, melakukan pemeriksaan ke RSJ adalah sebuah kebutuhan untuk membuat kondisi lebih baik saat dirasakan sedang tidak nyaman. Selain masalah stigma, profesi psikolog kerap dianggap sebagai peramal dan pembaca pikiran. Misalnya saja “wah, hati-hati nih ngomongnya, soalnya ada psikolog, nanti jangan-jangan pikrianku dibaca”. Padahal sejatinya, psikolog bukanlah sosok peramal yang bisa memprediksi seseorang dan psikolog juga bukan profesi yang mampu menganalisa sesuatu tanpa didasari dengan proses pemeriksaan mendalam sebelumnya.Psikolog “bekerja” menganalisa suatu kondisi berdasarkan sebab akibat dari perilaku yang diperlihatkan dan disampaikan oleh klien.
Kapan ke Psikiater dan Kapan ke Psikolog?
Saat merasa tidak nyaman dengan diri sendiri, kadang kita belum memahami siapa yang harus kita akses, apakah psikiater atau psikolog klinis. Berikut beberapa panduan untuk kita lebih memahami dan menyesuaikan dengan kebutuhan kita. Seorang psikolog klinis akan menjadi sosok pendengar atas apa yang kita pikirkan, rasakan, dan alami. Kita akan dibantu oleh psikolog klinis untuk merefleksikan dan menyadari kondisi sebenarnya yang kita alami, karena tidak jarang saat dihadapkan pada suatu persoalan, pikiran kita hanya terfokus pada persepsi pribadi dan emosi negatif yang justru membuat semakin tidak nyaman. Psikolog klinis pun juga memungkinkan kita untuk menjadi teman diskusi saat kita membutuhkan bantuan untuk mengenali potensi dalam rangka untuk mengembangkan diri. Lalu, bagaimana dengan psikiater? Prinsipnya, ketika kita merasakan kondisi yang tidak nyaman dan dirasa mengganggu fungsi keseharian dan atau sudah mengarah pada perilaku beresiko (membahayakan), maka kita dapat melakukan sesi konsultasi dengan psikiater agar mendapatkan penanganan medis yang tepat. Pada prinsipnya, psikiater maupun psikolog klinis sifatnya saling melengkapi.
Mengakses dan menerima bantuan dari profesional bukan berarti kita gila atau tidak waras. Bisa jadi kita memang dalam kondisi membutuhkan mereka atau kita tengah memerlukan cermin untuk kita dapat melakukan refleksi atas keadaan diri sehingga dapat melihatnya secara objektif.