Obsessive-Compulsive Disorder, OCD

images

OCD1Sudah ketiga kalinya ini Irma kembali masuk ke kamar untuk merapikan meja belajarnya. Dia selalu merapikan meja belajarnya berulang kali meski meja tersebut sudah rapi. Awalnya Irwan, kakaknya, membiarkan kebiasaan Irma tersebut, hingga kebiasaan itu mulai mengganggunya. Gara-gara kebiasaan itu, Irma sering terlambat ke sekolah, karena ia sering meminta kakaknya berhenti di tengah perjalanan ke sekolah untuk kembali ke rumah, hanya untuk merapikan meja yang sudah rapi.

 

Dalam dunia kesehatan gangguan perilaku tersebut disebut obsessive-compulsive disorder (Ganguan obsesif–kompulsif) atau OCD. Ganguan obsesif – kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana membutuhkan banyak waktu (lebih dari satu jam perhari) dan dapat menyebabkan penderitaan (distress). Obsesi adalah ketekunan yang patologis dari suatu pikiran atau perasaan yang tidak dapat ditentang yang tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika, yang disertai dengan kecemasan. Sedangkan kompulsi adalah kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu impuls yang jika ditahan menyebabkan kecemasan.

Obsesif-kompulsif merupakan gangguan kecemasan yang cenderung diturunkan dari keluarga. Tandanya, gerakan dan pikiran berulang serta menetap. Contohnya, tidak mampu menghentikan keinginan untuk mencuci tangan berkali-kali.

,

Gangguan obsesif–kompulsif menduduki peringkat keempat dari gangguan jiwa setelah fobia, gangguan penyalahgunaan zat dan gangguan depresi berat. Kebanyakan pasien dengan gangguan obsesif–kompulsif datang ke beberapa dokter sebelum mereka ke psikiater dan umumnya 9 tahun mendapat terapi, baru kemudian mendapat diagnosis yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa dokter selain psikiater penting untuk mendapat diagnosis yang benar.

Prevalensi dari gangguan obsesif–kompulsif pada populasi umum adalah 2 -3%. Pada sepertiga pasien obsesif–kompulsif, onset gangguan ini adalah sekitar usia 20 tahun, pada pria sekitar 19 tahun dan pada wanita sekitar 22 tahun. Perbandingan yang sama dijumpai pada laki-laki dan perempuan dewasa, akan tetapi remaja laki–laki lebih mudah terkena daripada remaja perempuan.

Gangguan obsesif-kompulsif berkaitan dengan area tertentu di otak. Penelitian tentang gangguan tersebut diharapkan bisa menemukan kelainan lebih dini sekaligus mengamati perkembangan terapi. Demikian hasil sebuah studi dari University of Cambridge, Inggris. Sebagaimana dilansir jurnal Science, pencitraan otak berguna untuk mendiagnosis gangguan itu. Pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif, menunjukan bahwa bagian orbitofrontal cortex pada orang dengan obsesif-kompulsif tidak bekerja semestinya.

Sebanyak 14 orang dengan gangguan ini menjadi responden. Sebanyak 12 kerabat mereka juga menjalani tes. Pencitraan otak mengukur aktivitas orbitofrontal cortex bagian lateral. Bagian yang seharusnya menjadi pusat pengambil keputusan itu tidak teraktivasi secara komplet. Sedangkan aktivitas otak pada orang tanpa kelainan tersebut tampak normal.

Banyak penelitian yang mendukung adanya hipotesis bahwa disregulasi serotonin berpengaruh pada pembentukan gejala gangguan obsesif–kompulsif, tetapi serotonin sebagai penyebab gangguan obsesif kompulsif masih belum jelas. Genetik juga diduga berpengaruh untuk terjadinya gangguan obsesif–kompulsif dimana ditemukan perbedaan yang bermakna antara kembar monozigot dan dizigot.

 

Faktor Tingkah Laku

Menurut teori, obsesi adalah stimulus yang terkondisi. Sebuah stimulus yang relatif netral diasosiasikan dengan rasa takut atau cemas melalui proses pengkondisian responden yaitu dengan dihubungkan dengan peristiwa–peristiwa yang menimbulkan rasa cemas atau tidak nyaman.

Kompulsi terjadi dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menyadari bahwa perbuatan tertentu dapat mengurangi kecemasan akibat obsesif, orang tersebut mengembangkan suatu strategi penghindaran aktif dalam bentuk kompulsi atau ritual untuk mengendalikan kecemasan tersebut. Secara perlahan, karena efikasinya dalam mengurangi kecemasan, strategi penghindaran ini menjadi suatu pola tetap dalam kompulsi.

 

Faktor Psikososial

Menurut Sigmund Frued, gangguan obsesif – kompulsif bisa disebabkan karena regresi dari fase anal dalam fase perkembangannya. Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang peranan pada beberapa manifestasi gangguan obsesif – kompulsi. Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi alas an timbulnya pikiran berulang untuk menyakiti orang tersebut.

Gejala pasien gangguan obsesif–kompulsif mungkin berubah sewaktu–waktu tetapi gangguan ini mempunyai empat pola gejala yang paling sering ditemui, yaitu:

  1. Kontaminasi, Obsesi akan kontaminasi biasanya diikuti oleh pembersihan atau kompulsi menghindar dari objek yang dirasa terkontaminasi. Objek yang ditakuti biasanya sulit untuk dihindari, misalnya feces, urine, debu, atau kuman.
  2. Keraguan Patologis, Obsesi ini biasanya diikuti oleh kompulsi pemeriksaan berulang. Pasien memiliki keraguan obsesif dan merasa selalu merasa bersalah tentang melupakan sesuatu atau melakukan sesuatu.
  3. Pemikiran yang Mengganggu, Obsesi ini biasanya meliputi pikiran berulang tentang tindakan agresif atau seksual yang salah oleh pasien.
  4. Simetri, Kebutuhan untuk simetri atau ketepatan akan menimbulkan kompulsi kelambanan. Pasien membutuhkan waktu berjam – jam untuk menghabiskan makanan atau bercukur.

 

Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala – gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua–duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut – turut. Gejala – gejala obsesif harus mencakup hal–hal berikut:

  1. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
  2. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
  3. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas).
  4. Gagasan , bayangan pikiran atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).

 

Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan depresi. Penderita gangguan obsesif–kompulsif sering kali juga menunjukkan gejala depresi dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran–pikiran obsesif selama episode depresinya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala – gejala yang timbul terlebih dahulu.

Diagnosis gangguan obsesif – kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif–kompulsif tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang. Gejala obsesif sekunder yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.

 

PENATALAKSANAAN

Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan gangguan obsesif–kompulsif antara lain terapi farmakologi (farmakoterapi) dan terapi tingkah laku. Kombinasi kedua bentuk terapi tersebut memberikan hasil yang lebih efektif daripada terapi tunggal.

 

Farmakoterapi

Dua kelompok obat – obatan yang terbukti efektif untuk terapi pada pasien gangguan obsesif – kompulsif adalah SSRI antara lain fuoxetine, fluvoxamine, paroxetine, setraline, dan TCA yaitu clomipramine.

 

Terapi Tingkah Laku

Terapi tingkah laku untuk gangguan obsesif–kompulsif meliputi paparan dan pencegahan ritual. Pada terapi ini pasien dipaparkan dengan stimuli yang memprovokasi obsesinya misalnya dengan menyentuh objek yang terkontaminasi dan juga pasien ditahan untuk tidak kompulsi misalnya menunda mencuci tangan. Terapi tingkah laku ini dimulai dengan pasien membuat daftar tentang obsesinya kemudian diatur sesuai hierarki mulai dari yang kurang membuat cemas sampai yang paling membuat cemas. Dengan melakukan paparan berulang terhadap stimulus diharapkan akan menghasilkan kecemasan yang minimal karena adanya habituasi.  

By Admin| 23 November 2013| Kesehatan | Dilihat = 61533 kali|